Pertikaian antara kubu KPK yang dicap cicak oleh Kabareskim Komjen Polisi Susno Duadji yang menganggap lembaga guru cicak alias buaya. Cicak kok melawan buaya, begitu komentar Duadji. Bermulai dari situ lalu terjadi sadap sadapa terhadap ponsel oleh KPK. Rumornya ada keterlibatan Duadji terhadap kasus Bank Century menerima uang Rp 10 miliar. Uang itu sangat banyak dan bisa memberi tunjangan guru ngaji satu Kabupaten. Uang sebegitu banyak adalah jasa Djuadji mencairkan dana PT Lancar Sampoerna Bestari. Namun di bantah oleh Duadji.
Duadji tak terima. Ada pembalasan. Wakil Ketua KPK juga dijadikan tersangka. Alasan yang dipakai adalah keterlibtan wakil ketua KPK terhadap pencekalan Direktur Masaro Radiokom, Anggoro Widjawa dan Djoko Candra terkait penyalahgunaan wewenang.
Terlepas dari siapa yang salah dan benar. Dari kasus di atas mempertontonkan kepada publik tentang korupsi di lembaga negara. Lembaga tinggi negara yang selama ini dijadikan benteng pertahanan korupsi sudah jebol. Tak satu pun lembaga negara yang menjadi benteng pertahanan korupsi yang kokoh. Meskipun benteng tersebut diisi dengan panglima yang sudah belajar di seluruh belahan dunia tetap jebol. Meskipun benteng pertahanan itu di pimpin para jagoan di bidang hukum juga jebol. Ketika petinggi KPK dituduh terlibat suap, saat petinggi negara mendapat untung dari kasus bank century, ketika sejumkah jaksa dari kejaksaan agung digendong ke pengadilan karena suap, ketika hakim dipengadilan masih terjerat mafia pengadilan. Apakah masih ada benteng lain (institusi) negara yang bisa diharap sebagai benteng pertahanan korupsi?
Korupsi di Indonesia bersifat budaya (kultural) dan struktural kata Robert Klitgaard dan Dwight Y. King. Korupsi di Indonesia selalu beradaptasi. Saat negera menganut sistem sentralisasi maka korupsi berpusat di pusat (korupsi berwatak sentralisasi). Ketika menganut sistem desentralisasi korupsi pun berpusat di daerah (korupsi berwatak desentralisasi). Artinya korupsi tidak hilang dari bumi Nusantara. Siapa pun pimpinananya apapun produk hukumnya, apapun bentuk pemerintahannya korupsi masih menari nari di media cetak.
Karena korupsi belum juga hilang dari tata kelola di pemerintahan dan perusahaan swasta, maka jangan harap gaji pegawai rendahan akan naik. Jangan mimpin upah buruh akan naik tangga. Perjuangan para pejuang buruh hanya memperoleh pengalaman berdemo menuntut upah setiap musim perundingan UMK. Perjuangan para pegawai rendahan termasuk honorer juga sami mawon.bisa jadi ke depan pegawai negeri golongan rendahan akan semakin aktif berorasi melakukan tuntutan kepada penguasa.
Dampak korupsi sesungguhnya jauh lebih berbahaya dari pada teroris. Ketika teroris bertindak paling paling sebuah hotel diledakkan dan berdampak terhadap tamu atau kunjungan turis mancanegara.
Dampak korupsi jauh lebih hebat. Kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, dan pada akhirnya merambat kepada perasaan tidak adil yang dapat memunculkan pimpinan di daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Korupsi juga memunculkan busung lapar, tingkat kematian yang tinggi, penuruanan produktivitas. Korupsi melahirkan Produk lulusan perguruan tinggi yang tidak kompetitif, pengangguran membengkak.
Semakin tinggi tingkat korupsi pada suatu negara maka tingkat penghasilan warganya juga semakin rendah. Jumlah kerja yang dipakai juga tinggi, kalau di negara maju yag korupsinya hampir nol, jam kerja warganya tidak sampai delapan jam sehari dan gajinya tidak menunggu satu bulan untuk membei i pod.
Bila korupsi tidak jadi budaya di negeri ini, buruh bisa menikmati penghasilan yang layak. Pegawai negeri golongan rendahan dan para honorer tak perlu nyambi sebagai tukang ojek dan pemulung. Kalau korupsi sudah dihapuskan maka pegawai negeri tidak lagi bermain-main di saat jam kerja. Ketika korupsi sudah diberantas maka umur makin panjang. Kata ustaz Danu salah satu sumber penyakit dialami oleh manusia karena hantinya kotor.
Lalu bagaimana memerangi korupsi, padahal benteng-benteng pertahanan sudah dibangun di seluruh pelosok negeri. Mungkin lho perlu dibuat wacana sedikit gila seperti pemberlakukan hukum rajam terhadap pelaku korupsi jadi kalau terbukti ada warga Indonesia yang korupsi diatas satu miliar maka pelakunya dibenankam ke dalam tanah hingga batas leher kemudian dilempari batu beramai-ramai oleh warga miskin hingga bonyok. Jadi bukan hanya merajam pelaku jinah. Koruptor pun patut dirajam.
Wacana gila kedua adalah bila sang koruptor terbukti mencuri uang rakyat di bawah satu miliar maka potong tanganya hingga buntung oleh orang miskin dan si koruptor tersebut dipenjara seumur hidup. Bila korupsi yang dilakukan merugikan negara di bawah seratus juta rupiah maka pelakunya dipenjara seumur hidup.
Dengan begitu akan (semoga bisa) muncul keadilan. Bukankah maling ayam kampung yang kedapatan warga sudah banyak yang dibakar hidup-hidup padahal nilai ayam curian tidak sampai seratus ribu namun nyawa taruhannya. Nah, anggota dewan yang sudah kepilih rasanya perlu memikirkan ide gila saya ini. Semoga ke depan anggota dewan kreatif membuat produk hukum (efektif gitu lho). Masa produk hukum anggota dewan dari tahun ke tahun dari pelita ke pelita tidak ampuh memberantas korupsi di negeri yang sangat kaya sumber daya alam ini. Kalau anggota dewan yang dipilih lima tahun ke depan masih juga tidak kreatif. Minta resign dari rakyat. Biar digantikan oleh kader lain yang bersih dan kreatif yang tidak silau dengan tunjagan komunikasi, perumahan, mobil dinas, dan piknik ke luar negeri. Kalau kelakuan anggota dewan ke depan tidak berubah, maka sebutan terhadap mereka sebaiknya diganti menjadi anggota dewan yang tidak terhormat.
Solusi terakhir melawan korupsi adalah pemberlakukan CSR ISO 24000. Salah satu item di ISO ini adalah pemberlakuan tata kelola yang bersih baik di instansi negara dan suasta. Lembaga yang melakukan CSR ISO 24000 dengan baik akan muncul ke atas permukaan secara otomatis sebagai lembaga yang bersih. Karena yang mengontrol bukan lagi lembaga buatan negara semata tapi dari berbagai komponen masyarakat. (M.Rusli)
Komentar Terbaru