Pagi ini 19 Desember 2009 saya bertemu dengan salah seorang wartawan dan sharing mengenai dampak krisis terhadap buruh. Sang wartawan mencoba menyinggung ke Officer CSR salah satu perusahaan tentang berapa besar biaya yang akan dikelurkan untuk mengatasi masalah krisis global yang akan diberikan kepada pekerja yang terkena PHK. Sang wartawan berpedoman pada anggapan bahwa ada aturan yang mengatakan bahwa ada dana sekian persen dari perusahaan digunakan untuk CSR.
Saya langsung mengingat kembali salah satu pasal di UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas. Pada salah satu pasalnya (tepatnya pasal 74) dikatakan bahwa:
1) Perseroan terbatas menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan.
2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagi biaya Perseroan yang pelaksanaaanya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan di atur dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian Saya teringat pada polemik besaran rancangan dana CSR yang akan ditentukan dalam Peraturan Pemerintah sebesar 5% dari keuntungan perusahaan. Dan sejauh ini belum ada realisasinya. Meskipun kini secara diam-diam Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dekumham) membuat rancangan PP (Peraturan Pemerintah) mengenai Tanjung Jawab Sosial dan Lingkungan alias Corporate Social Responsibility.
Yang menarik diulas adalah :
Batasan CSR.Apa yang dipahami tentang CSR saat ini tidak memiliki standarisasi. Ada yang menjalankan praktek charity atau filantropi lalu disebut sebagi CSR.
Pengertian CSR menurut versi UU Nomor 40 tahun 2007 mengatakan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.
Pada 28 November 2008 Kamar Dagang dan Industri (KADIN) secara resmi meminta peninjuan ulang untuk perlakuan Pasal 74 UU Perseroan Terbatas yang mewajibkan perusahaan berbadan hukum PT untuk menjalankan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan .
Lalu bagaimana kita menyikapi polemik ini. Jawabnya sederhana. Untuk mengetahui konsep CSR yang ideal dapat diperoleh di CSR ISO 26000. Pada konsep CSR ISO 26000 ini posisi CSR dipandang sebagai kebijakan strategis perusahaan yang tidak terbatas pada tanggungjawab sosial dan lingkungan saja. CSR sesuai konsep ini adalah menangani masalah sebagai berikut:
1. Tata Kelola Organisasi
2. Human Rights (Hak asasi manausia)
3. Labour Practices (Ketenagakerjaan)
4. The Environment (lingkungan)
5. Fair Operating Practices (melakukan bisnis secara fair)
6. Consumer Issue (masalah pelanggan)
7. Social Development (pengembangan sosial kemasyarakatan)
Ke- tujuh komponen di atas itulah yang menjadi acuan CSR. CSR tidak lagi dilihat sebagai kegiatan filantropi, charity atau sinterklas semata. Karena itu mari kita koreksi pemahaman terhadap CSR untuk kebaikan bersama. Salam CSR.
Teman Lama
Feb 16, 2009 @ 07:52:14
Dear Marumpa,
Saya setuju dengan pemahaman yang telah diberikan lewat isi tulisan yang berjudul “Kekeliruan thdp CSR”. Hanya saja judul ini sedikit mengganggu, terutama dalam pengertiannya. Mungkin yang tepat adalah “Kekeliruan tentang CSR”.
Pelatihan tentang CSR menurut ISO 26000 (tapi masih dalam status working draft) sedang saya siapkan. Silahkan bergabung ke Value Consult Training- Jakarta. Sampai jumpa teman lama
marumpa
Feb 17, 2009 @ 01:42:50
Dear Teman Lama
Makasih ya masukannya. Ya saya setuju judulnya bisa dirubah menjadi Kekeliruan Tentang CSR. Salam CSR.